Beberapa minggu lalu, saya mendapat tugas rehabilitasi drainase di Kediri. Biasanya pekerjaan saya hanya sebatas laporan dan input data. Baru kali ini saya diminta menganalisis hidrologi, hidrolika saluran dengan SWMM, sekaligus menghitung RAB. Biasanya saya berbagi tugas dengan teman kantor yang lebih ahli—dia tegas, cepat, dan paham hidrologi lebih dalam—dan saya seperti asistennya. Kali ini saya harus sendirian. Ada rasa takut dan khawatir karena tidak ada teman diskusi, tidak ada pembagi beban.
Awalnya saya hanya diminta mengerjakan hidrologi dan hidrolika. Itu saja sudah memakan waktu lama karena data topografi tidak kunjung lengkap. Lalu mendadak saya juga diminta menghitung RAB—sesuatu yang belum pernah saya kerjakan. Benar-benar tidak ada gambaran. Akhirnya saya mengerjakan “seadanya” dengan target “yang penting selesai”, karena tenggatnya pendek dan tenaga hanya saya seorang. Setiap kali saya minta bos mengecek dulu sebelum dikirim, jawabannya selalu “nanti saya cek, sementara pakai data itu dulu, kalau ada yang terbaru baru diganti.” Tapi data yang ditunggu tidak datang-datang. Lama-lama saya bingung: pekerjaan ditagih, tapi datanya tidak ada—apa yang harus saya kerjakan?
Perjalanan ke Kediri yang munek-munek
Saya ternyata diharuskan ikut ke Kediri untuk Diskusi Laporan Akhir. Mengingat saya yang mengerjakan dan yang tahu detail perhitungan dan analisa, jadi ya mau tidak mau harus ikut. Malam sebelum berangkat saya hampir tidak tidur karena masih mengerjakan laporan dan analisa. Pagi itu kepala saya berat, tengkuk tegang, dan perut kosong. Kami berangkat berlima: anak bos jadi sopir, bos duduk di depan, saya dan teman kantor (cewek) duduk di tengah. Awalnya masih empat orang, lalu ada satu tambahan: “tim leader bayangan”—namanya ada di kontrak, tapi tidak ikut mengerjakan. Begitu dia masuk mobil, aroma parfumnya langsung memenuhi kabin. AC mobil dinginnya menusuk. Perut saya mulai “munek-munek”.
Kami masuk tol. Jalanan mulus, tapi kepala saya berdenyut. Saya memeluk tas di perut untuk menghangatkan, mencoba tidur pendek-pendek sambil menahan pusing. Sekitar dua jam kemudian, kami keluar di tol Mojokerto dan berhenti di rest area. Niat saya hanya buang air kecil, tapi begitu melangkah ke toilet, isi perut langsung naik. Belum sempat menutup pintu, isi perut sudah keluar semua. Rasanya sedikit lega, tapi pusingnya tetap menempel. Karena dari pagi belum sarapan, yang keluar hanya asam lambung dan air liur—pahit dan perih.
Kami lanjut jalan. Di mobil, saya berusaha tidur lagi, memeluk tas lebih erat begitu AC terasa makin dingin. Sebelum ke kantor dinas, kami sempat mampir ke sebuah kafe untuk minum dan makan agar saya sedikit kuat. Begitu tiba, saya langsung ke toilet—dan muntah lagi. Setelah itu, tubuh terasa “kosong”, tapi kepala masih berat. Kami duduk sebentar, minum hangat, coba menenangkan diri, lalu berangkat ke kantor dinas.
Pemaparan yang “ngang ngeng ngong” dan ruang tanya jawab yang memojokkan
Di kantor dinas, saya memaksa tersenyum dan terlihat “sehat”, walaupun tidak jadi pembicara utama. Tim leader memaparkan PPT dengan gaya bicara yang sangat cepat dan tidak jelas. Slide ditayangkan hanya beberapa detik, lalu pindah. Orang dinas, yang tidak ikut proses pengerjaan, jelas tidak bisa menangkap maksudnya. Saya mendengarnya sambil menahan emosi: rasanya ingin meminta beliau memperlambat, memperjelas alur, dan menunjuk langsung bagian yang relevan di gambar.
Masuk sesi tanya jawab, jantung saya dag-dig-dug. Orang dinas meminta penjelasan satu per satu dan spesifik: bagaimana perhitungan hidrolika di segmen 1, bagaimana gambar cross section dan penempatan saluran, lalu segmen 2, segmen 3, dan seterusnya. Mereka minta ditunjukkan aplikasi hasil ke gambar, bukan hanya angka di tabel. Masalahnya, gambar dan data yang kami bawa belum rapi, dan tim yang mempresentasikan tidak ikut mengerjakan detailnya. Bos dan tim leader pun kebingungan menjelaskan. Saya sebenarnya paling tahu prosesnya, tapi saya disitu hanya staf ada rasa sungkan untuk ikut menjawab. Ketika bos bertanya pelan ke saya, saya mencoba menjawab, namun jawaban saya tidak disampaikan ke hadirin. Rasanya seperti dibilang “kamu tahu apa”.
Yang membuat suasana jadi terpojok bukan pertanyaan orang dinas—niat mereka hanya minta penjelasan. Tapi karena jawaban dari tim kami tidak jelas, mereka jadi menekan. Bos saya terlihat panik. Saat ada hasil yang janggal, saya langsung “ditunjuk” sebagai biang kesalahan, padahal ini kerja tim. Dalam hati saya bergumam: tugas seorang leader seharusnya melindungi bawahannya di depan klien, merapikan penjelasan, lalu menindaklanjuti kesalahan bersama. Yang terjadi: bawahannya yang dipajang, leadernya lepas tangan.
Ishoma kebablasan, kalimat yang menohok, dan hujan yang awet
Istirahat siang kami makan di warung Solo. Perjalanannya agak jauh, menunggunya lama, dan kami makan hampir dua jam. Padahal jam istirahat orang dinas hanya satu jam (sekitar 12.30–13.30). Mereka sudah meminta kami kembali lebih cepat, tapi kami baru kembali sekitar jam setengah tiga. Jujur, itu ngawur juga—mereka menunggu, kami masih makan.
Kembali ke kantor dinas, diskusi dilanjutkan dengan vibe yang sama: tegang, tidak jelas, mepet waktu. Di luar, hujan turun sejak sekitar jam tiga sore dan tidak berhenti sampai malam—udara lembab, dingin menyusup ke tulang. Menjelang akhir, ada satu kalimat dari orang dinas yang menancap di kepala saya:
“Ini kan bukan skripsi ya, pak. Jadi harus direncanakan dengan sebaik-baiknya karena akan segera dilelang untuk pekerjaan tahun depan. Pekerjaan ini sangat ditunggu warga Kediri karena berpengaruh ke daerah banjir di Lirboyo. Mohon segera direvisi dan diselesaikan dengan baik.”
Saya tertohok. Karena memang saya mengerjakan dengan bekal pengetahuan skripsi saya—minim bimbingan, data tidak lengkap, waktu singkat. Tapi yang paling membuat saya jengkel tetap satu: bos. Saya berkali-kali minta pekerjaan saya dicek sebelum dikirim. Jawabnya selalu “oke, nanti saya cek.” Nyatanya tidak pernah dicek. Beliau juga bilang “nanti bagian saya yang ini, ini, ini,” tapi tidak dikerjakan. Pada titik itu, perasaan saya campur aduk: malu, kesal, pusing, capek, dan sendirian.
Memilih pulang naik kereta, dengan sungkan yang menempel
Setelah diskusi selesai, saya bilang ingin pulang naik kereta. Awalnya hanya bercanda, tapi orang-orang mengira serius. Saya pun memutuskan membeli tiket sungguhan. Saya tidak kuat lagi naik mobil—takut mabuk darat lagi. Di sisi lain, jujur saya tidak nyaman pulang satu mobil dengan bos: saya merasa tidak bisa santai, seperti diawasi. Keputusan ini berarti saya meninggalkan teman kantor (cewek) yang ditugaskan menemani saya. Di perjalanan sebelum ke kantor, saya berulang kali meminta maaf padanya. Berat sekali rasanya meninggalkan dia sendirian. Bos mengantar saya bertemu teman lama yang sekarang CPNS di Kediri. Untungnya letak kantornya tidak jauh dari kantor dinas sebelumnya. Di situlah saya berpisah dengan rombongan bos saya.
Setelah bertemu teman saya, kami berbincang sejenak untuk menentukan mau pergi kemana. Akhirnya kami memutuskan untuk ke kafe dekat stasiun kereta. Sebelumnya, kami berhenti dulu di musholla—maghrib hampir masuk—karena kafe dekat stasiun tidak ada musholla. Setelah shalat, kami ke kafe, memesan makanan dan minuman, lalu duduk. Obrolan mengalir: kabar masing-masing, cerita pekerjaan, kisahnya sebagai CPNS, kenangan teman-teman kuliah. Waktu terasa tidak nyata, berjalan cepat. Saya melirik jam: 18.20. Jadwal kereta saya 18.49. Makanan dan minuman belum habis, tapi kami harus bergegas. Makanan dibungkus. Teman saya mengantar ke stasiun dengan motor, menembus hujan yang sejak sore tak berhenti. Saya sungkan sekali, mengucapkan maaf berkali-kali.
Di stasiun, saya check-in, menunggu sebentar di ruang tunggu yang lembab oleh udara hujan. Kereta lokal ekonomi seharga 15 ribu datang. Saya bersyukur dapat duduk sendiri. Niatnya tidak tidur sampai Malang, tapi tubuh menyerah. Beberapa kali saya terlelap, terbangun, lalu terlelap lagi—capek fisik, capek pikiran.
Tiba di Malang sekitar jam setengah 12 malam. Saya pesan ojek online ke kantor untuk mengambil motor yang sebelumnya saya titipkan. Jalanan sepi, dingin setelah hujan, lampu-lampu kuning memantul di aspal basah. Di kepala, perasaan lega dan takut bercampur: lega karena diskusi selesai, takut karena revisi masih menunggu. Dari kantor, saya pulang naik motor sendiri. Alhamdulillah—masih hidup sampai sekarang.
Refleksi yang pelan, tapi menancap
Hari itu menguras tenaga dan pikiran. Saya merasa kecil, malu, dan jengkel. Tapi saya juga belajar beberapa hal:
- Tentang proyek: yang di atas kertas rapi, di lapangan selalu berantakan.
- Tentang tim: tanpa komunikasi yang jelas dan leader yang bertanggung jawab, staf mudah tersesat.
- Tentang diri sendiri: kadang kita harus memilih cara pulang yang menjaga tubuh dan kepala tetap waras, meski kelihatannya egois.
Kewarasan, ternyata, bukan datang dari proyek yang sempurna. Ia datang dari keberanian untuk tetap melangkah dalam ketidakpastian—menerima bahwa tidak semua hal bisa kita kontrol, tapi kita bisa menjaga diri, meminta maaf ketika perlu, dan terus memperbaiki yang bisa diperbaiki besok pagi.
Comments
Post a Comment